Sejarah kelahiran dan
berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang
sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan
ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan
pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan
penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan
internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian
sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.
Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam
kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan
pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran
antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara
berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri
setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi
dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah
bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.
Pada saat ini dengan globalisasi dan runtuhnya perekonomian
sosialis di Eropa Timur serta terbukanya Afrika, maka gerakan koperasi di dunia
telah mencapai suatu status yang menyatu di seluruh dunia. Dimasa lalu
jangkauan pertukaran pengalaman gerakan koperasi dibatasi oleh blok
politik/ekonomi, sehingga orang berbicara koperasi sering dengan pengertian
berbeda. Meskipun hingga tahun 1960-an konsep gerakan koperasi belum mendapat
kesepakatan secara internasional, namun dengan lahirnya Revolusi ILO-127 tahun
1966 maka dasar pengembangan koperasi mulai digunakan dengan tekanan pada saat
itu adalah memanfaatkan model koperasi sebagai wahana promosi kesejahteraan
masyarakat, terutama kaum pekerja yang ketika itu kental dengan sebutan kaum
buruh. Sehingga syarat yang ditekankan bagi keanggotaan koperasi adalah “Kemampuan
untuk memanfaatkan jasa koperasi”. Dalam hal ini resolusi tersebut telah
mendorong tumbuhnya program-program pengembangan koperasi yang lebih sistematis
dan digalang secara internasional.
Pada akhir 1980-an koperasi dunia mulai gelisah dengan proses
globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai langkah
pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres ICA di
Tokyo melalui pidato Presiden ICA (Lars Marcus) masih melihat perlunya koperasi
melihat pengalaman swasta, bahkan laporan Sven Akheberg menganjurkan agar
koperasi mengikuti layaknya “private enterprise”. Namun dalam perdebatan Tokyo
melahirkan kesepakatan untuk mendalami kembali semangat koperasi dan mencari
kekuatan gerakan koperasi serta kembali kepada sebab di dirikannya koperasi.
Sepuluh tahun kemudian Presiden ICA saat ini Roberto Barberini menyatakan
koperasi harus hidup dalam suasana untuk mendapatkan perlakuan yang sama “equal
treatment” sehingga apa yang dapat dikerjakan oleh perusahaan lain juga harus
terbuka bagi koperasi (ICA, 2002). Koperasi kuat karena menganut “established
for last”. Pada tahun 1995 gerakan koperasi menyelenggarakan Kongres koperasi
di Manchester Inggris dan melahirkan suatu landasan baru yang dinamakan
International Cooperative Identity Statement (ICIS) yang menjadi dasar tentang
pengertian prinsip dan nilai dasar koperasi untuk menjawab tantangan
globalisasi. Patut dicatat satu hal bahwa kerisauan tentang globalisasi dan
liberalisasi perdagangan di berbagai negara terjawab oleh gerakan koperasi
dengan kembali pada jati diri, namun pengertian koperasi sebagai “enterprise”
dicantumkan secara eksplisit. Dengan demikian mengakhiri perdebatan apakah
koperasi lembaga bisnis atau lembaga “quasi-sosial”. Dan sejak itu semangat
untuk mengembangkan koperasi terus menggelora di berbagai sistim ekonomi yang
semula tertutup kini terbuka.
Catatan awal : “Dari sini dapat ditarik catatan bahwa
koperasi berkembang dengan keterbukaan, sehingga liberalisasi perdagangan bukan
musuh koperasi”. Di kawasan Asia Pasifik hal serupa ini juga terjadi sehingga
pada tahun 1990 diadakan Konferensi Pertama Para Menteri-Menteri yang
bertanggung jawab dibidang koperasi di Sydney, Australia. Pertemuan ini adalah
kejadian kali pertama untuk menjembatani aspirasi gerakan koperasi yang
dimotori oleh ICA-Regional Office of The Asian dan Pacific dengan pemerintah.
Pertemuan ini telah melicinkan jalan bagi komunikasi dua arah dan menjadi
pertemuan regional yang reguler setelah Konferensi ke II di Jakarta pada tahun
1992. Pesan Jakarta yang terpenting adalah hubungan pemerintah dan gerakan
koperasi terjadi karena kesamaan tujuan antara negara dan gerakan koperasi,
namun harus diingat program bersama tidak harus mematikan inisiatif dan
kemurnian koperasi. Pesan kedua adalah kerjasama antara koperasi dan swasta
(secara khusus disebut penjualan saham kepada koperasi) boleh dilakukan
sepanjang tidak menimbulkan erosi pada prinsip dan nilai dasar koperasi.
Pengalaman Koperasi Di Indonesia, di Indonesia pengenalan
koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan
penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri
mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947
melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih
unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di
jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan
kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar
itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan
koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan
koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara
khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara
sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah
dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara
sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) Lembaga-lembaga
pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan
(iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan.
Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada
tidak diberikan tempat semestinya. Selama ini “koperasi” dikembangkan dengan
dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang
memberikan lapangan kerja terbesar ba¬gi penduduk Indonesia. Sebagai contoh
sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor
pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain
pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk
swasembada beras seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam
politik pem-bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi
melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah
bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola
pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli
baru (cengkeh). Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program,
sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai
kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan
internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan
koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).
Pengalaman Umum Kemajuan Koperasi : Mencari Determinan.
Sejarah kelahiran koperasi di dunia yang melahirkan model-model keberhasilan
umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris,
kredit seperti yang terjadi di Perancis dan Belanda kemudian produsen yang
berkembang pesat di daratan Amerika maupun di Eropa juga cukup maju. Namun
ketika koperasi-koperasi tersebut akhirnya mencapai kemajuan dapat dijelaskan
bahwa pendapatan anggota yang digambarkan oleh masyarakat pada umumnya telah
melewati garis kemiskinan.
Contoh pada saat Revolusi Industri pendapatan/anggota di
Inggris sudah berada pada sekitar US$ 500,- atau di Denmark pada saat revolusi
pendidikan dimulai pendapatan per kapita di Denmark berada pada kisaran US$
350,-. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan belanja rumah tangga baik
sebagai produsen maupun sebagai konsumen mampu menunjang kelayakan bisnis
perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para
anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan
penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat
pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota. Syarat 1 : “Skala usaha
koperasi harus layak secara ekonomi”.
Di daratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan
koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2
(dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni “Credit Agricole” di
Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain.
Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya
koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain.
Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya
sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan
adalah “potensial customer-member” dari koperasi kredit. Syarat 2 : “Harus
memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit
(simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi”.
Di manapun baik di negara berkembang maupun di negara maju
kita selalu disuguhkan contoh koperasi yang berhasil, namun ada kesamaan
universal yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu, selalu
menjadi contoh sukses dimana-mana. Secara spesial terdapat contoh yang lain
seperti produsen gandum di daratan Australia, produsen kedele di Amerika Utara
dan Selatan hingga petani tebu di India yang menyamai kartel produsen.
Keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di
negara maju dan berkembang nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar
dengan kehadiran koperasi, dengan demikian koperasi terbukti merupakan
kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar.
Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang
teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat
kukuh.
Syarat 3 : “Posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli
menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi”.
Di negara berkembang, termasuk Indonesia, transparansi
struktural tidak berjalan seperti yang dialami oleh negara
industri di Barat, upah buruh di pedesaan secara rill telah naik ketika
pengangguran meluas sehingga terjadi Lompatan ke
sektor jasa terutama sektor usaha mikro dan informal (Oshima, 1982). Oleh
karena itu kita memiliki kelompok penyedia jasa terutama disektor perdagangan
seperti warung dan pedagang pasar yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 juta
unit dan setiap hari memerlukan barang dagangan. Potensi sektor ini cukup
besar, tetapi belum ada referensi dari pengalaman dunia. Koperasi yang berhasil
di bidang ritel di dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi barang terutama
di negara-negara berkembang “user” atau anggotanya adalah para pedagang kecil
sehingga model ini harus dikembangkan sendiri oleh negara berkembang.
Koperasi selain sebagai organisasi ekonomi juga merupakan
organisasi pendidikan dan pada awalnya koperasi maju ditopang oleh tingkat
pendidikan anggota yang memudahkan lahirnya kesadaran dan tanggung jawab
bersama dalam sistem demokrasi dan tumbuhnya kontrol sosial yang menjadi syarat
berlangsungnya pengawasan oleh anggota koperasi. Oleh karena itu kemajuan
koperasi juga didasari oleh tingkat perkembangan pendidikan dari masyarakat
dimana diperlukan koperasi. Pada saat ini masalah pendidikan bukan lagi
hambatan karena rata-rata pendidikan penduduk dimana telah meningkat. Bahkan
teknologi informasi telah turut mendidik masyarakat, meskipun juga ada dampak
negatifnya.
Syarat 4 : “Pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk
meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM)”. Potret Koperasi Indonesia
Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia
tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak
26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember
1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga
mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif
per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi
Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di
ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah
melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui
koperasi.
Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah
digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam
waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter¬sebut. Jika
semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber
pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi
lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk
menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah
keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan (Anne Both, 1990),
disamping sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati
latihan dengan mengurus dan mengelola KUD (Revolusi penggilingan kecil dan
wirausahawan pribumi di desa).
Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih
cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi
Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai
antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari
populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari
populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada
akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat
kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP
dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup
gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi
hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya
masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam
waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap
dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan
lahirnya
Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis
pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian
koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada
penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap
koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis
maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal.
Oleh karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong
kembalinya pola spesialisasi koperasi. Di dunia masih tetap mendasarkan tiga
varian jenis koperasi yaitu konsumen, produsen dan kredit serta akhir-akhir ini
berkembang jasa lainnya.
Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi
pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat
nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi
sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen
eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang
harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan
globalisasi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu dilakukan bila penataan mulai
diletakkan pada daerah otonom.
Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah Implementasi undang-undang
otonomi daerah, akan mem¬berikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi
sumber daya alam dan pelayanan
pembinaan lainnya. Namun koperasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih
intensif de¬ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi investasi dan
skala kegiatan koperasi. Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk
membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan
advokasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepa¬da pemerintah di
daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi
yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fungsi
intermediasi semacam
ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan
infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat. Peranan pengembangan
sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah
otonom menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah
otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu
juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai
studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu
menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan yang sentralistik
mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.
Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk menghadapi
berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kredit bagi koperasi
dan usaha kecil di daerah. Dengan demi-kian kehadiran lembaga jaminan akan
menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di daerah.
Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah dalam bentuk
patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini akan dapat mendesentralisasi
pengembangan
ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan menumbuhkan kemandirian daerah
untuk mengarahkan aliran uang di masing-
masing daerah. Dalam jangka menengah koperasi juga perlu memikirkan asuransi
bagi para penabung.
Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai
gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada
ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan
infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk
memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus
diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan,
pengembangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi
merupakan kebutuhan pendukung untuk kuatnya kehadiran koperasi. Pemerintah di
daerah dapat mendorong pengembangan lembaga penjamin kredit di daerah.
Pemusatan koperasi di bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada
tingkat kabupaten/kota atau “kabupaten dan kota” agar menjaga arus dana menjadi
lebih seimbang dan memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat).
Fungsi pusat koperasi jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat
memainkan peran pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem
asuransi tabungan yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara
nasional.