JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Dunia dalam laporan terbarunya
menyatakan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang Asia Timur termasuk
Indonesia dan Pasifik akan tetap bertahan untuk jangka waktu tiga tahun ke
depan.
Meskipun demikian, kawasan ini dinilai masih menghadapi
berbagai risiko besar untuk tumbuh. Oleh sebab itu, Bank Dunia menyatakan
sejumlah negara perlu mengambil langkah guna mengurangi kerentanan finansial
dan fiskal.
Bank Dunia juga menyarankan agar negara-negara mengatasi
rintangan terhadap pertumbuhan inklusif yang berkelanjutan, dengan memenuhi
kesenjangan infrastruktur, mengurangi malnutrisi, dan memperkuat inklusi
keuangan.
Dalam Laporan Perkembangan Ekonomi Asia Timur dan Pasifik
yang dirilis hari ini, Rabu (5/10/2016), Bank Dunia memprediksi secara
keseluruhan ekonomi negara Asia Timur tumbuh 5,8 persen di 2016.
Adapun untuk 2017 sampai 2018, ekonomi Asia Timur diprediksi
mencapai 5,7 persen.
Di Indonesia, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi akan
naik secara stabil, yakni dari 4,8 persen di tahun 2015 menjadi 5,5 persen di
2018.
Hal ini tergantung ada atau tidaknya kenaikan investasi
publik dan suksesnya perbaikan iklim investasi serta kenaikan penerimaan.
"Walaupun ada prospek yang menjanjikan, pertumbuhan di
kawasan ini bergantung oleh berbagai risiko besar," kata Kepala Ekonom
Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Sudhir Shetty dalam video
conference dari Washington
DC, AS.
Shetty menjelaskan, pengetatan keuangan global, pertumbuhan
global yang terus melambat, atau perlambatan di China yang datang lebih awal
dari yang sudah diantisipasi akan menjadi cobaan bagi ketahanan ekonomi Asia
Timur.
Ia menyatakan, penting bagi pembuat kebijakan untuk
mengurangi ketidakseimbangan finansial dan fiskal yang telah terbangun di
beberapa tahun terakhir ini.
Faktor China
Bank Dunia memperkirakan China akan terus melakukan transisi
ke pertumbuhan yang lebih lambat namun berkelanjutan.
Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi China akan
mencapai 6,7 persen pada 2016, 6,5 persen di 2017, dan 6,3 persen di 2018.
Di China, pertumbuhan akan melemah sejalan dengan
perekonomiannya yang terus menuju sektor konsumsi, jasa, dan aktivitas dengan
nilai tambah yang tinggi dan kelebihan kapasitas industri dikurangi.
Namun, pasar tenaga kerja yang lebih ketat akan terus
mendukung pertumbuhan pendapatan dan konsumsi rumah tangga.
Penulis
|
: Sakina Rakhma Diah Setiawan
|
Editor
|
: Aprillia Ika
|
Sumber
: